Pamele, Juliani (2025) Kontroversi Tradisi Mangrara Tongkonan dalam Perspektif Teologi Keugaharian di Lembang Sa’dan Pebulian Toraja Utara. Scholar thesis, Institut Agama Kristen Negeri Toraja.
![]() |
Text
juliani_skpp.pdf Download (103kB) |
![]() |
Text
juliani_hd.pdf Download (362kB) |
![]() |
Text
juliani_kp.pdf Download (178kB) |
![]() |
Text
juliani_bab_1.pdf Download (244kB) |
![]() |
Text
juliani_bab_2.pdf Download (315kB) |
![]() |
Text
juliani_bab_3.pdf Restricted to Repository staff only Download (242kB) | Request a copy |
![]() |
Text
juliani_bab_4.pdf Restricted to Repository staff only Download (292kB) | Request a copy |
![]() |
Text
juliani_bab_ 5.pdf Download (199kB) |
![]() |
Text
juliani_dp.pdf Download (236kB) |
![]() |
Text
juliani_lp.pdf Download (223kB) |
![]() |
Text
juliani_lp2.pdf Download (106kB) |
![]() |
Text
juliani_cv.pdf Download (116kB) |
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kontroversi pelaksanaan tradisi Mangrara Tongkonan di tengah masyarakat Lembang Sa’dan Pebulian, Toraja Utara, dalam terang teologi keugaharian. Tradisi Mangrara Tongkonan merupakan salah satu upacara adat penting yang menandai peresmian rumah Tongkonan sebagai pusat identitas dan ikatan kekeluargaan. Namun, dalam perkembangannya, tradisi ini mulai menunjukkan gejala pemborosan, persaingan status sosial, dan tekanan ekonomi yang kuat bagi masyarakat, sehingga menimbulkan pertentangan nilai dengan ajaran iman Kristen, khususnya prinsip hidup sederhana (ugahari). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi pustaka. Analisis dilakukan secara tematik dan reflektif berdasarkan data lapangan dan teori teologi keugaharian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat masih memegang kuat nilai spiritual dan budaya dalam tradisi ini. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan Mangrara Tongkonan seringkali mengandung unsur pamer kekayaan, pemborosan, dan menimbulkan beban ekonomi yang tidak ringan bagi keluarga, terutama yang berpenghasilan rendah. Ketegangan muncul antara pelestarian budaya dan penerapan nilai-nilai iman Kristen tentang kesederhanaan. Dari sisi gereja, terdapat usaha untuk mendampingi masyarakat secara pastoral agar tradisi ini tidak bertentangan dengan ajaran iman. Beberapa bentuk adaptasi telah dilakukan, seperti memasukkan unsur doa Kristen dalam ritus adat dan mendorong penyederhanaan pelaksanaan adat. Namun, belum semua gereja aktif mengambil peran ini secara sistematis. Teologi keugaharian dapat menjadi pendekatan penting untuk menafsirkan ulang tradisi secara kontekstual. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Mangrara Tongkonan bukanlah adat yang harus ditolak, tetapi perlu dimaknai ulang agar tetap menjadi sarana syukur dan penguatan relasi sosial tanpa kehilangan nilai iman dan keugaharian. Kolaborasi antara gereja, tokoh adat, dan masyarakat menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan tradisi yang mencerahkan secara spiritual dan bertanggung jawab secara sosial. Kata Kunci: Gereja Toraja, Mangrara Tongkonan, teologi keugaharian, tradisi, ugahari ABSTRACT This study aims to analyze the controversy surrounding the practice of the Mangrara Tongkonan tradition in the community of Lembang Sa’dan Pebulian, North Toraja, through the lens of the theology of simplicity. Mangrara Tongkonan is one of the significant traditional ceremonies in Torajan culture that marks the inauguration of a Tongkonan house as a center of identity and kinship unity. However, over time, this tradition has shown signs of excessive spending, social class competition, and economic pressure, which conflict with Christian values, especially the principle of living a simple and sufficient life (ugahari). This research uses a qualitative method with a descriptive approach, collecting data through in-depth interviews, observation, and literature studies. The analysis was carried out thematically and reflectively based on field data and theological frameworks. The findings show that the community still holds on to the spiritual and cultural values of this tradition. However, in practice, Mangrara Tongkonan often includes elements of wealth display, extravagance, and creates economic burdens, especially for low-income families. Tensions arise between cultural preservation and the application of Christian teachings on simplicity. From the church's perspective, there have been efforts to pastorally accompany the community so that the tradition aligns with faith values. Some adaptations have been made, such as incorporating Christian prayers into traditional rituals and encouraging simpler ceremonial practices. However, not all churches have actively taken part in this effort. The theology of simplicity offers an important approach to reinterpret the tradition contextually. This study concludes that Mangrara Tongkonan is not a tradition that must be rejected, but one that should be reinterpreted so it remains a means of thanksgiving and strengthening social relationships without losing its spiritual and theological meaning. Collaboration between the church, cultural leaders, and the community is key to ensuring that the tradition continues in a spiritually enriching and socially responsible way. Keywords: Toraja church, mangrara tongkonan, theology of simplicity, tradition, ugahari.
Item Type: | Thesis (Scholar) |
---|---|
Subjects: | B Philosophy. Psychology. Religion > BV Practical Theology |
Depositing User: | Andarias Manting |
Date Deposited: | 20 Aug 2025 11:30 |
Last Modified: | 20 Aug 2025 11:30 |
URI: | http://digilib-iakntoraja.ac.id/id/eprint/5016 |
Actions (login required)
![]() |
View Item |